Tarikh Tasyri'
A.
Pengertian
Tarikh Tasyri’ Islam
Secara etimologi, kata tarikh dalam
bahasa Arab berarti buku tahunan, perhitungan tahun, buku riwayat, atau
sejarah. Sedangkan dalam bahasa Inggris, tarikh diterjemahkan sebagai history,
yang berarti pengalaman masa lampu umat manusia, the past expreience of
mankids. Pengertian selanjutnya, tarikh bermakna sejarah sebagai catatan yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa masa lampau yang diabdikan dalam laporan
tertulis dan dalam ruang lingkup yang luas. Dengan demikian, tarikh merupakan
pembahasan segala aktivitas manusia yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa
tertentu pada masa lampau yang disusun secara sistematis dan kronologis.
Sedangkan kata Tasyri’, secara
etimologi, berarti pembuatan undang-undang atau peraturan-peraturan (taqnin).
Secara terminologis, tasyri’ adalah penetapan peraturan, penjelasan
hukum-hukum, dan penyususnan perundang-undangan. Menurut batasan ini, tasyri’ merupakan
produk ijtihad manusia dalam proses pembentukan perundangan-perundangan (fiqh).
Kata tasyri’ sendiri berasal dari kata
syari’at. Syari’at sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Sya’ban Isma’il adalah
apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya berupa hukum-hukum, baik
hukum keyakinan (‘aqdidiyyah), hukum amaliyah maupun hukum akhlak. Dengan
demikian, syariat.
Merupakan peraturan yang telah
ditetapkan Allah kepada Nabi Muhammad bagi manusia yang mencakup keyakinan
(‘aqaid), perbuatan (‘amaliah), dan akhlak.
Dengan demikian, maka makna tarikh
tasyri’ Islam, seperti dikemukakan Ali Al-Sayyis, adalah ilmu yang membahas
keadaan hukum-hukum (fiqh) pada masa Nabi dan sesudahnya termasuk penjelasan
dan periodesasinya yang padanya berkembang hukum itu, menjelaskan
karakteristiknya (naskh, takhshish, dan sebagainya), juga keadaan fuqaha dan
mujtahidin, serta merumuskan hukum-hukumitu.
Menurut batasan di atas, tampak bahwa
tarikh tasyri’ Islam merupakan pembahasan tentang segala aktivitas manusia
dalam pembentukan perundang-undangan Islam di masa lampau, baik masa Nabi,
sahabat maupun tabi’in (para mujtahid) sampai sekarang, secara sistematis dan
kronologis.
B.
Ruang
Lingkup Pembahasan Tarikh Tasyri’ Islam
1.
Sumber
Tasyri’ Islam
Secara garis besar, ditinjau dari
sumbernya, tasyri’ Islam terbagi dua macam, yaitu tasyri’ yang bersumber dari
Allah (al-tasyri’ al-ilahiy) dan tasyri’ yang bersumber dari manusia
(al-tasyri’ al-wadh’iy). Tasyri’ pertama merupakan peraturan yang ditetapkan
Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sedangkan tasyri’ kedua
merupakan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh para mujtahid, baik mujtahid
sahabat maupun mujtahid tabi’in atau para pengikut tabi’in dan seterusnya,
dengan cara mengistinbath dari tasyri’ ilahi.
Kedua
tasyri’ tersebut di atas dibagi menjadi dua kompenen, yaitu ibadah dan
muamalah. Ibadah adalah tasyri’ Islam yang membahas hubungan manusia secara
vertikal dengan Allah, sedangkan muamalah adalah tasyri’ Islam yang membahas
hubungan manusia secara horizontal dengan manusia lainnya. Ulama Hanafiyah
membaginya kepala tiga bagian, yaitu ibadah, muamalah, dan ‘uqubah.
Adapun ulama Syafi’iyah membaginya kepada empat bagian: ibadah,
muamalah, munakahah, dan ‘uqubah.
2.
Prinsip-prinsip
Tasyri’ Islam
a.
Menegakkan Maslahat
Tasyri’ Islam benar-benar memperhatikan kemaslahatan manusia.
Maslahat dapat diartikan perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan.
Maslahat merupakan dasaryang dikembangkan dalam hukum dan perundangan Islam. Ia
memiliki landasan yang kuat dalam Al Qur’an (Q.S. Al-Anbiya : 107) dan Al
Sunnah, diantaranya hadist yang diriwayatkan oleh Al Daruquthni dan Hakim dari
Abi Sa’id: “tidak boleh menyulitkan orang-orang lain dan tidak boleh pula
disulitkan orang lain.
Secara umum, maslahat dibagi tiga: maslahat mu’tabarah,
maslahat mulghah, dan maslahat mursalah. Maslahat mu’tabarah
dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan: dharuriyyah (primer), hajiyyah
(sekunder), dan tahsiniyyah (tersier). Kandungan maslahat dharuriyyah
ada lima tujuan agama (maqashid al-syari’ah), yaitu pemeliharaan agama (hifzh
al-din), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), pemeliharaan jiwa (hifzh
al-nafs), pemeriharaan akal (hifzh al-‘aql), dan pemeliharaan harta
(hifzh al-mal).[1]
Adapun
Maslahat tahsiniyyah adalah sesuatu yang mengandung manfaat bagi manusia,
tetapi tidak tergolong pokok, seperti nikah, bagi laki-laki dan belum ba’h
(berkemampuan) yang dianjurkan Nabi untuk berpuasa. Sedangkan maslahat mulghah
adalah suatu perbuatan yang di dalamnya terkandung manfaat, tetapi dalam syara’
tidak ditetapkan secara pasti.
Maslahat
mursalah adalah sesuatu yang bermanfaat, tetapi tidak diperintahkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Misalnya, memerangi umat Islam yang enggan membayar zakat.
b. Menegakkan
Keadilan (Tahqiq Al-Adalah)
Dalam
pandangan Islam, manusia itu sama, tidak ada kelebihan antara satu dan yang
lainnya karena faktor keturunan, kekayaan, atau kedudukan. Hukum Islam pun
memperlakukan manusia secara sama dalam menghadapi keadilan.
Dalam
beberapa ayat Al Qur’an dijumpai perintah untuk perilaku adil, di antaranya
dalam suratAl Nahl ayat 90:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan”.
c. Tidak Menyulitkan (‘Adam Al-Haraj)
Al-haraj
memiliki beberapa arti, di antaranya sempit, sesat, paksa, dan berat. Secara
terminologi, al-haraj adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa, atau
harta seseorang secara berlebihan, baik sekarang maupun di kemudian hari.
Meringankan
hukum-hukum itu bisa dengan beberapa cara, yaitu sebagai berikut :
1.
Pengguguran kewajiban
2.
Pengurangan kadar yang telah ditentukan
3.
Penukaran
4.
Mendahulukan
5.
Menangguhkan
6.
Perubahan
d. Menyedikitkan
beban (Taqlil Al-Taklif)
Secara
etimologi, taklif berarti beban. Secara terminologis taklif adalah tuntutan
Allah untuk berbuat sehingga dipandang taat, dan tuntutan untuk menjauhi
larangan Allah. Dengan demikian, yang dimaksud menyedikitkan beban adalah
menyedikitkan tuntutan Allah untuk berbuat, mengerjakan perintah-Nya, dan
menjauhi larangan-Nya. Pertimbangan menyedikitkan beban ini didasarkan pada
surat Al-Maidah ayat 101.
e. Berangsur-angsur
(Al- Tadarruj)
Hukum
Islam dibentuk secara tertahap dan didasarkan pada Al-Qur’an yang diturunkan
secara bertahap pula. Salat, misalnya pada awalnya diperintahkan pada dua waktu
saja, yaitu pagi dan sore (Q.S. Hud: 114), kemudian dalam tiga waktu (Q.S.
Al-Isra’: 78), akhirnya berdasarkan hadits fi’li yang mutawatir salat wajib
dilakukan lima kali dalam sehari semalam.
C.
PERIODESASI
(PERKEMBANGAN) TASYRI’ ISLAM
Ulama
berbeda pendapat dalam menentukan periodesasi tasyri’ Islam. Di antara para
sejarahwan yang menentukan periodisasi tasyri’ Islam adalah Khudhari Beik, Abd
Al-Wahhab Khalaf, Mushthafa Sa’id Al-Khin, Sulaeman Al-‘Asyqar dan ‘Ali
Al-Sayis.
Periodesasi
tasyri’ Islam mengikuti periodesasi yang dikemukakan Al-Sayis. Tarikh tasyri’
Islam, menurutnya mencakup:
1.
Tasyri’ masa Rasulullah,
2.
Tasyri’ masa khulafa
3.
Tasyri’ masa pasca khulafa hingga awal
abad kedua Hijrah,
4.
Tasyri’ masa awal abad kedua hijrah
hingga pertengahan abad keempat Hijrah,
5.
Tasyri’ masa pertengahan abad keempat
hingga kehancuran Bagdad,
6.
Dan tasyri’ masa modern (sekarang).[2]
DAFTAR PUSTAKA
Rasyad Hasan, Khalil,
Tarikh Tasyri’, ( Jakarta:
Amzah,2009).
Safiuddin, Tarikh tasyri’sejarah pembentukan hukum
islam, (Jakarta: Amri).
[1]Khalil Rasyad
Hasan, Tarikh Tasyri’,( Jakarta:
Amzah,2009). hlm 76-75
[2]Safiuddin, Tarikh tasyri’ sejarah pembentukan hukum
islam, (Jakarta: Amri), hlm 84-86