Type something and hit enter

author photo
By On
A.    Latar Belakang

Tiga aliaran ini {khawarij, syiah dan sunni} pada awalnya merupakan aliran politik, karena sumber ikhtilaf mereka adalah masalah kepemimpinan umat islam. Dalam perjalannya, khawarij berubah menjadi aliaran kalam atau teologi{tauhid}. Sedangkan syiah memperkuat eksitensinya dalam aliran politik dengan membangun berbagai doktrin dan ajaranya.Adapun jumhur tetap setia mendukung pemerintahan Quraisy. Khawarij dan syiah sebagaimana dijelaskan nantinya akan terbagi menjadi beberapa sekte diantara sekte dari khawarij sekte Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdah, dan al-Ajaridah. Sekte syiah antara lain isma'iliyah, duruz, itsna 'Asyariah, zaidiyah, rafidah dan sebagainya. Karena termasuk aliran teologi {kalam},pemikiran Khawarij lebih dikenal dalam bidang kalam. Pemikiran-pemikiran inilah yang kemudian menjadi sebab pembentukan hukum islam atau Tasyri'. 
Pemikiran Aliran Khawarij, Syiah dan Ahlussunnah dan Pengaruhnya dalam Tasyri' 
Pada pemulaan periode ini, umat islam terbagi menjadi tiga golongan. Penganut madzhab sunni, pendukung saidina Ali {syiah} dan Khawarij. Ketiga kelompok ini akhirnya menjadi tiga aliran teologi dan dalam pandangan fiqih pun tentu saja ada perbedaan-perbedaan satu sama lain. Sebetulnya tak hanya itu, ketika konflik tersebut, masing-masing golongan justru saling berseteru dan berfikir keras untuk mengalahkan lawan-lawannya.
A.    Khawarij
Khawarij awalnya adalah kelompok yang loyal kepada saidina Ali bin Abi Thalib, namun kemudian berbalik arah. Mereka kebanyakan berasal dari orang-orang Badui yang berfikir lurus dan keras.Ali dianggap bekas pengikutnya ini telah salah, karena menghendikan peperangan, sedangkan Muawiyah adalah gubernur pemberontak terhadap pemerintahan yang sah.Dalam pandangan kelompok ini, kedua kubu politik yang disubutkan diatas adalah salah dan sesat.Khawarij juga melahirkan beberapa sekte. Diantaranya Muhakkimah, Azariqah, Najdah, dan Ajaridah.
Adapun pemikiran Fiqihnya antara lain :
a.       Khalifah tidak harus orang Quraish, tapi siapa saja yang mampu memimpin. Berbeda dengan sunni yang mengharuskan pemimpin dari suku Quraish. Selain itu, orang melakukan bosa besar seperti halnya Utsman, Ali, Abu Musa, Muawiyah, Amr bin Ash, tergolong kafir. Mereka pun berpendapat bahwa wajib hukumnya untuk menentang pemerintahan yang zalim, termasuk Ali dan Muawiyah.
b.      Amal ibadah, berupa shalat, puasa, zakat, dan lainya, termasuk dalam rukun iman, sehaingga iman tidak hanya cukup dengan penetapan di dalam hati {tashdiq} dan iqrar dilisan saja.
c.       Hukuman zina cukup dipukul 100 kali sesuai dengan ajaran al-Qur'an, sedangkan rajam adalah ajaran hadits sebagai tambahan dari al-Qur'an. Dalam Al-Qur’an  terdapat sangsi bagi pelaku zina, yaitu daicambuk (al-jild) seratus kali (al-Nur [24]: 2). Disamping itu, dalam Sunnah ditentukan bahwa sangsi bagi pelaku zina adalah rajam. Dalam hadits riwayat Muslim dari Yahya ibn al-Tamimi, Hasyim, Manshur, al-Hasan, Hathan ibn ‘Abdullah al-Ruqasyi, dari ‘Ubdadah ibn al-Shamit disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
خُذُاوَا عَنِّى خُذُاوْاعَنِّى قَدْجَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً, اَلْبِكْرُ بِا لبِكْرِ جَلدُ مِا ءَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالشَّيِّبُ بِا لشَّيِّبِ جُلْدُ مِا ءَةٍ وَالرَّجْمُ
"Ambilah dariku, ambilah dariku. Allah telah memberikan jalan kepada perempuan, sangsi zina bagi laki-laki (yang belum menikah) dan perempuan (yang belum menikah) dalah seratus kali pukulan serta diasingkan selama satu tahun. Sangsi bagi laki-laki yang sudah menikah dan perempuan yang sudah menikah adalah seratus kali pukulan dan dirajam"
Khawarij tidak menerima dan tidak mau melaksanakan tambahan sangsi bagi pelaku zina yang terdapat dalam hadits diatas. Mereka berpendapat bahwa sangsi bagi pelaku zina adalah seratus kali pukulan, tidak ditamvah dengab rajam. Sebab, dangsi pukulan ditentukan dalam Al-Qur'an, sedangkan rajam ditetapkan dalam Sunnah. (al-syahrastani, 1.th: 121)
d.      Banatukum dalam ayat larangan nikah {an-Nisa ayat 23-34} diartikan cukup anak perempuan saja, jadi cucu boleh dinikahi oleh kakeknya.
e.       Selain kelompok khawarij adalah kafir, dan kafir haram dinikahi.
f.       Yang disebut ghanimah adalah senjata, kuda dan perlengkapan perang lainya, selain itu bukan ghanimah.
g.      La wasiyata liwaisin, tidak berlaku, sehingga ahli waris boleh mendapatkan warisan.
h.      Radah'ah tidak menghalangi perkawinan sehaingga saudar satu susuan boleh dinikahi.
i.        Thahara adalah suci lahir dan bathin, konsekuensi logisnya adalah apabila ketika akan shalat atau dalam shalat berfikir sesuatu yang kotor dan membuat bathin kotor maka shalatnya itu batal.
Pemahaman khwarij ini berimplikasi kepada pemahaman fiqih.Beberapa pendapat mereka yang dapat dikemukakan diantaranya dalam malah thaharah. Sebagaimana disebutkan oleh Manna al-Qatthan, kaum khawarij salah satu kelompok islam yang paling ekstrem dalam melihat segala sesuatu, baik itu dalam iman ataupun kekafiran. Begitu pula dalam ibadah, mereka menekankan pada sesuatu yang abstrak dan ruhiyah, bukan jasadiya {materi}.Contohnya dalam thahara, bagi khawarij, bersuci itu tidak hanya sebatas menyucikan anggota badan {dalam wudhu misalnya}, tetapi yang terpenting adalah menyucikan hati dan perasaan.Implikasinya, tidak hanya kencing atau buang air besar yang membatalkan wudhu, tetapi juga ketika seseorang menyimpan dendam, permusuhan, dengki, atau memfitnah sesama manusia, maka wudhunya pun batal.
Khawarij hanya mengakui al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber tasyri', sehingga mereka tak mengakui adanya sunnah, ijma', atau yang lainya. Akibatnya adalah mereka selalu menentang dan tidak sependapat ketika salah satu paham berbeda dengan al-Qur'an.Hal ini terlihat ketika mereka menilai bagaimana para sahabat atau tabi'in menggunakan sunnha atau berijma'. Dalam satu hadits yang digunakan sebagai hujjah bahwa ''Tidak ada wasiat pada ahli waris'', mereka justru mempertanyakan : bagaimana dengan firman Allah yang berbunyi ''Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan {tanda-tanda} maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf''.Maka itu, kelompok ini menolak hadits atau pendapat yang menyatakan bahwa ahli waris tidak boleh diberi wasiat.[1]
1.      Syiah
Syiah adalah kelompok yang mendukung Ali bin Abi Thalib dan keluarganya, bahkan dalam perkembangannya mereka mengkultuskan Ali dan kaluarganya, sehingga mereka pun percaya bahwa Ali dan keluarganya adalah ma'sum. Sementara aliran fiqih dalam Syiah ada dua, yakni ushuli dan akhbari {ahli hadits/ortodoks}.Selain syiah juga terbagi menjadi beberapa aliran yang berbeda-beda dan meliki karekteristik yang berbeda-beda pula.
Seperti halnya khawarij, syiah tidak mengakui adanya ijma' ataupun qiyas.Qiyas ditolak karena didasarkan pada akal, bukan Nash. Syiah hanya mengakui Allah, Rasul-Nya, adan iman sebagai sumber otoritas pembentukan hukum islam, sehingga pendapat kelompok ini banyak berbeda dengan sunni, baik dalam ushul tau furu'. Dalam ushul misalnya, mereka menolak adanya Naskh dan Mansukh, sehingga mereka membolehkan adanya nikah mu'tah sampai hari kiamat kelak.
Diantara contoh pemikiran hukum golongan Syiah adalah sebagai berikut :
a.       Al-Qu'ran {nash} mempunyai dua arti :lahir dan bathin, yang mengetahui keduanya hanya Allah, Rasul dan Imam. Imam mengethui makna bathin al-Qur'an, karena para imam tersebut dianggap ma'sum oleh mereka dan diberikan ilmu yang setaraf dengan kenabian, masyarakat umum hanya mengetahui dzahirnya saja.
b.      Hadits nabi yang dipandang shahih oleh kelompok ini hanyalah hadits-hadits yang diriwayatkan dengan jalur-jalur para imam mereka. Hadits yang diriwayatkan oleh kalangan ahlu sunnah, meskipun derajat keshahihannya tinggi tidak akan diterimah oleh mereka. Dekian pula, dalam masalah furu' dan ushul mereka akan menerimah jika disetujui oleh imam mereka. Syi’ah, Sunnah dapat dibedakan menjadi empat:
a.       Hadits shahih (tradisi yang otentik), yaitu hadits yang kebenarannya dapat diusut kembali dan sapai kepada imam (a’immah ma’shum) yang diceritakan oelh seorang imam adil yang kejujurannya disepakati oleh imam-imam ahli hadits.
b.      Hadits hasan (tradisi yang baik), yaitu hadits yang kebenarannya seperti hadits shahih, yakni dapat dikembalikan kepada imam ma’shum, tetapi diceritakan oleh seorang imam yang terhormat dan ahli-ahli hadits tidak menyebutnya tsiqah, adil, dapat dipercaya, dipuji oleh ahli hadits dengan kata-kata lain.
c.           Hadits musak (kuat), yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dkenal tsiqah, adil, benar, dan jujur oleh ahli sejarah, sekalipun beberapa atau semua perawinya bukan pengikut Ali r.a.
d.      Hadits dla’if (lemah), yaitu hadits yang tidak mencapai atau memenuhi syarat-syarat hadits musak.[2]

c.       Dalam adzan: setelah hayya aalal falah  dalam pandangan syiah ditambah satu kalimat lagi yaitu: hayya ala khairul amal.
d.      Waktu shalat hanya tiga, Dzuhur dan Ashar {dhuluqi syamsi}, Maghrib dan Isya {ghasaqillail} dan subuh {al-Qur'anal fajr}.
e.       Dalam sujud tidak menggunakan alas tempat sujud yang dibuat tangan. Biasanya mereka memakai tanah atau batu dari karbala.
  1. Syi’ah menolak ijmak umum. Menurut mereka, dengan mengakui ijmak umum, berarti mengambil pendapat selain pendapat imam-imam Syi’ah. Mereka juga menolak al-qiyas sebagai bagian dari al-ra’yu, karena, menurut mereka, agama bukan diambil dengan ra’yu.
g.      Syi’ah meyakini keabsahan nikah mu’ta. Yaitu seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan dengan sejumlah upah dan selama waktu tertentu.
Ada satu sekte Syiah yang pemikiranya tidak jauh berbeda dengan pemikiran ahlu sunnah, yaitu sekte Zaidiyah. Sekte ini mempuyai pemahaman lebih moderat, baik dalam bidang teologi maupun dalam bidang fiqih. Contohnya adalah kitab Nailul Authar yang disusun oleh as-Syaukani – menjadi referensi ulama Sunni, sedangkan dibidang politik dikenal istilah taqiyyah, yaitu berbohong untuk hal yang benar, kamuflase. Taqiyyah merupakan satu doktrin politik yang dikenal dalam kelompok syiahuntuk menyembunyikan misi mereka.Syiah juga tidak mengakui pemerintahan al-Khulafar Rasyidin {Abu Bakar, Umar, dan Ustman}, ketiga khalifa itu telah mangambil hak Ali.Menuerut paham mereka, Ali harus memegang kekhalifahan setelah Rasulullah, karena Rasulullah sendiri mewasiatkan itu.Berbeda dengan ini, syiah Zaidiyah mengakui pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Utsman, meskipun mereka mengatakan bahwa Ali lebih afdhal.[3]
2.      Ahlu Sunnah
Sunni (Ahlus- Sunnah Wal Jama’ah)Ungkapan Ahlussunnah (sering juga disbut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi‟ah.Sunni dalam pengertian khusus adalah mahzab yang berada dalam barisan Asy‟ariyah dan merupakan lawan mu‟tazilah. Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasulullah Saw.dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada Sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As Siddiq, Umar Bin Khattab, Utsman bin Affwan dan Ali bin Abi Thalib.Berdasarkan data sejarah yang ada, setelah terjadinya fitnah pada masa khalifah Utsman bin Affan kemudian aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran islam yang murni dan asli bermunculan satu persatu, maka pada periode akhir generasi sahabat Nabi SAW istilah Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah mulai diperbincangkan dan dipopulerkan sebagai nama bagi kaum muslimin yang masih setia kepada ajaran islam yang murni dan tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran baru yang keluar dari mainstrem.
Sunni (Ahlus- Sunnah Wal Jama’ah) Golongan ini adalah orang-orang yang bersikap abstain (apolitis) dan tidak ikut-ikutan terjun kedalam pergolakan politik. Mereka tidak mau  bergabung dengan pasukan Ali dan para lawan politiknya. Kelompok ini menempuh jalur ilmu yang benar dan manhaj yang lurus serta kajian yang tepat dalam memahami agama Allah, memahami secara teliti terhadap ajaran syari‟at berdasarkan penjelasan Al-Qur'an dan Sunnah yang suci serta riwayat-riwayat dari para sahabat, serta menghindari segala pengaruh fitnah yang terjadi diantara sahabat diakhir khalifah Ali bin Abi Thalib. Metode yang dipakai golongan ini pada akhirnya melahirkan dua aliran dalam mengistinbat hukum Syari‟at:
1.      Kelompok yang berpegang pada dzahirnya nash-nash dan  pengikut aliran ini dinamakan ahli hadits.
2.      Kelompok yang mencari ilat-ilat hukum dan hikmahnya dari nash-nash baik Al-Qur'an dan sunnah dan kelompok ini dinamakan ahlul ra'yu

Ahlus- Sunnah Wal Jama’ah Diantara pemikiran hukum Islam Ahlussunnah wal jama'ah adalah :
a.       Jumhur atau Sunni percaya bahwa kepemimpinan mesti dipegang oleh Quraisy (lihat shahih al-Bikhari, t.th,
b.      Penolakan terhadap keabsahan nikah mut’ah. Bagi jumhur, mikah mut’ah haram dilakukan. Dalam hal ini, pendapat jumhur sejalan dengan pendapat Umar bin Khatab r.a.[4]
c.       Jumhur menggunakan konsep aul dalam pembagian harta pusaka.
d.      Nabi Muhammad Saw tidak dapat mewariskan harta, karena terdapat sebuah hadits yang menyatakan bahwa beliau bersabda:
نَحنُ مَعَا شَرَألاَنْبِيَا ءِلاَ نُوْ رِشُ, مَا تَرَكْنَا هُ صَدَقَةٌ
kami seluruh para nabi tidak mewariskan (harta), harta yang kutinggalkan adalah shadaqah.” (Ahmad Amin, III, t.th:261)
e.       Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode adalah 4 orang (penafsiran terhadap surat An Nisa ayat 3 dan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
f.       Persaudaraan iman masih tetap berlaku dan dibenarkan meskipun mereka bermaksiat.
g.      Orang-orang fasik tidak berarti kehilangan iman secara keseluruhan, dan mereka tidak kekal dalam neraka, dan masih tergolong beriman atau bisa juga dikatakan beriman tidak secara mutlak.  
h.      Para sahabat itu dimaafkan Allah, baik mereka yang melakukan ijtihad dengan hasil yang benar maupun yang salah. Akan tetapi mereka tidak meyakini bahwa para sahabat itu ma'sum dari dosa-dosa besar dan kecil.


[1]Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri', {Depok : Gramata Publishing, 2010}, h. 104-105
[2] Jaih Mubarak, 2000. sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakaria) h. 60-61
[3]Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri', {Depok : Gramata Publishing, 2010}, h. 106-107
[4]Jaih Mubarak, 2000. sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakaria) h. 64-65

Click to comment