Type something and hit enter

author photo
By On

Pengertian Ushul Fiqih

Ushul fiqih berasal dari dua suku kata yakni ushul bentuk jamak dari ashl dan fiqh. Ushul secara bahasa ialah fondasi sesuatu, baik bersifat materi ataupun bukan. Sedangkan menurut istilah mempunyai beberapa arti diantaranya:
  1. Dalil atau landasan hukum. Contohnya, pernyataan ulama ushul fiqih tentang wajibnya shalat lima waktu berdasarkan firman Allah SWT dan sunnah RasulNya.
  2. Qa’idah, dasar atau fondasi sesuatu.
  3. Rajih, yang terkuat. Dan masih ada lagi istilah lainnya.
Umumnya pengertian ushul diambil dari istilah yang pertama, yakni dalil merupakan landasan hukum atas sesuatu yang telah ditetapkan oleh ulama ushul fiqih atas dasar Al-Qur’an dan Hadits.
Fiqih secara bahasa berasal dari lafal faqiha, yafqahu fiqhan, yang berarti mengerti, paham. Sedang menurut istilah yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperimci. Sedangakan menurut H. Rachmat Syafe’i dalam bukunya ‘Ilmu Ushul Fiqih’ mengatakan bahwa fiqih secara istilah ialah merupaka pemahaman atau pengetahuan tentang hukum-hukum syari’ah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan diambil dari dalil yang terperinci.
Sementara menurut guru besar hukum di Universitas Kairo Mesir Abdul Wahab Khalaf menyatakan ushul fiqih ialah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci. (Abdul Wahab Khalaf: 12).
Dengan demikian, ushul fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum atau sumber hukum dan metode penggaliannya.
  1. Objek Kajian Ushul Fiqih
  2. Sumber hukum
  3. Metode istinbath (penggalian) sumber hukum
  4. Syarat bagi orang yang melakukan istinbath hukum.
  5. Perbedaan Ushul Fiqih dengan Fiqih
Ushul fiqih merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbath hukum dan objeknya dalil hukum, sementara fiqih merupakan perbuatan mukallaf yang diberi status hukumnya. Ushul fiqih memandang dalil dari sisi cara penunjukan atas suatu ketentuan hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukan.
Dengan  demikian, ushul fiqh merupakan pohon yang dapat berbuah, fiqih itulah yang menjadi buah dari pohon tersebut.

Fungsi Ushul Fiqih

  1. Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum oleh mujtahid,
  2. Menggambarkan persyaratan mujtahid agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat,
  3. Menentukan hukum dalam memecahkan berbagai persoalan baru,
  4. Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil, dan
  5. Mengetahui keunggulan dan kelemahan dalil yang digunakan oleh mujtahid.

Sejarah Perkembang Ushul Fiqih

  1. Tahap Awal (3 H)
Di bawah pimpinan pemerintah Abbasiyah wilayah Islam meluas ke bagian Timur. Pada abad ini muncul ilmuwan muslim yang menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab serta ilmu-ilmu agama semakin berkembang luas pembahasannya. Salah satu buktinya ialah berkembangnya ilmu fiqih yang berhasil mendorong disusunnya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqih. Dan karyanya yang menjadi sejarah pada abad ini adalah adanya kitab ushul fiqih yang pertama tersusun secara utuh dan terpisah dari kitab fiqih ialah Ar-Risalah karangan Imam Syafi’i.
  1. Tahap Perkembangan (4 H)
Dinasti Abbasiyah mulai lemah dalam bidang politik dan terjadi perpecahan yang mengakibatkan adanya daulah-daulah kecil yang dipimpin oleh sultan. Masalah politik yang terjadi tidak mempengaruhi para ilmuwan dalam mengembangkan ilmunya. Karya ulama fiqih pada abad ini ialah munculnya kitab-kitab ushul fiqih, seperti:
  1. Kitab Ushul Al-Kharkhi yang bercorak Hanafiyah yang menunjukan kefanatikan penulisnya terhadap madzhab imamnya. Penulis kitab ini ialah Abu Hasan Ubaidillah Ibn Husain Ibn Dilal Dalaham AL Kharkhi.
  2. Kitab Al Fushul fi Al Ushul bercorak Hanafiyah dan banyak mengkritik isi kitab Ar-Risalah. Kitab ini ditulis oleh Ahmad Ibn Ali Abu Bakar Ar Razim dikenal dengan Al Jashshash.
  3. Kitab Bayan Kasf Al Ahfazh merupakan kamus yang menerangkan arti lafazh dan arti definisi-definisi yang diperlukan oleh para Qadi dan Mufti. Ditulis oleh Abu Muhammad Badr Ad Din Mahmud Ibn Ziyad Al Lamisy Al Hanafi.
3. Tahap Penyempurnaan (5-6 H)
Pada abad ini merupakan  periode penulisan kitab Ushul Fiqih terpesat yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih selanjutnya. Kitab yang paling penting diantaranya:
  1. Al Mughni fi AL Abwab Al ‘Adl wa At Tawhid karangan Al Qadhi Abd Jabbar
  2. Al Mu’amad fi Ushul Fiqih karangan Abu Husain Bashri
  3. Al Iddaf fi Ushul Fiqih karangan Abu Qadhi Abu Muhammad Ya’la Muhammad Husain Ibn Muhammad Ibn Khalf Al Farra
  4. Al Burhan fi Ushul Fiqh karangan Abu Ma’ali Abd Malik Ibn Abdillah Ibn Yusuf Juwaini Imam haramain.
  5. Al Mustashfa min Ilm Ushul karangan Abu Hamid Ghazali.
  6. Sumber-sumber Hukum Islam (disepakati ataupun tidak)
Di dalam ilmu ushul fiqih akan dibahas pula tentang sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau landasan hukum atas sesuatu.
  1. Al-Qur’an, dari segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kta qara’a berarti bacaan atau yang dibaca. Sedangkan menurut istilah yakni kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf yang dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri surat An-Nass.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pertama dan paling utama diantara sumber hukum lainnya, sebab Al-Qur’an menjadi acuan dan tolak ukur dalam menetapkan  hukum sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa: 105 dan QS. Al-Maidah: 49. Kitab suci Al-qur’an ini memiliki pokok ajaran yang terkandung di dalamnya yakni diantaranya, tauhid; ibadah; janji dan ancaman; kisah umat terdahulu atau kisah nabi-nabi; dan lain sebagainya.
  1. Al-Sunnah, secara bahasa adalah jalan atau tabiat atau kebiasaan. Menurut istilah dalam ilmu hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, serta ketetapan. Sunnah dijadikan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an sesuai dalam QS. Al-Hasyr: 7; QS. An-Nisa: 59 dan 80.
  2. Ijma’, menurut bahasa terbagi dua arti yakni bermaksud atau berniat seperti dalam QS. Yunus: 71. Dan juga memiliki arti kesepakatan terhadap sesuatu seperti firman Allah SWT dalam QS. Yusuf: 15. Sedangkan dalam segi istilah ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari ijma’ Nabi Muhammad SAW dalam suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat terhadap hukum syara’. Ijma’ akan sah menjadi sumber hukum jika memenuhi syarat seperti, yang bersepakat adalah para mujtahid; seluruh mujtahid bersepakat; dan para mujtahid merupakan umat Nabi Muhammad SAW; waktunya dilakukan setelah wafatnya Rasulullah SAW; yang disepakati mujtahid harus berhubungan dengan syari’at.
Ijma’ terbagi dua, ada ijma’ sharih yakni semua mujtahid mengemukakan pendapat kemudian ada salah satu pendapat yang disepakati oleh semua mujtahid. Dan satu lagi ijma’ sukuti yakni para mujtahid diam, tidak menyepakati atau menolak pendapat tentang suatu masalah baik secara lisan maupun tulisan.
Ijma’ dilakukan karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dan karena nash baik Al-Qur’an dan Sunnah yang sudah tidak turun lagi. Contoh ijma’, penetapan tanggal satu Ramadhan yang harus disepakati oleh ulama di negerinya berdasarkan rukhyatul hilal.
  1. Qiyas, secara bahasa berarti menyamakan atau mengukur sesuatu dengan yang sejenisnya. Sedangkan secara bahasa qiyas adalah menyamakan atau mengukur suatu kejadian yang tidak terdapat nash tentang hukumnya. Menurut para fuqaha, qiyas adalah menghubungkan peristiwa yang ada nash hukumnya dengan peristiwa yang tidak ada nash hukumnya  karena adanya persamaan dalam peristiwa pada ‘illat hukumnya.
Qiyas dapat dilakukan oleh individu, berbeda dengan ijma’ yang harus dilakukan oleh para mujtahid. Qiyas dibagi menjadi dua. Pertama, qiyas qath’i yang berarti qiyas yang apabila illat hukum pada cabang qiyas terdapat pula pada illat hukum pokok qiyas. Kedua, qiyas zanni yang ialah qiyas ‘illat hukumnya hanya ada pada pokok qiyas.
Seseorang dapat melakukan qiyas apabila ia mengetahui rukun atau unsur pokok dalam qiyas. Qiyas sendiri memiliki empat rukun diantaranya:
  1. Ashl (pokok), yaitu peristiwa yang sudah ada nashnya yang akan dijadikan tempat untuk mengqiyaskan peristiwa lain. Ashl juga disebut sebagai maqis alaih (tempat mengqiyaskan), mahmul alaih (tempat membandingkan), atau musyabbah bih (tempat menyerupakan).
  2. Far’u (cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nash hukumnya. Disebut juga maqis (menqiyaskan atau menganalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan).
  3. Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh nashnya.
  4. Illat, yaitu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya illat ashl mempunyai hukum dan dengan sifat pula pula terdapat cabang, sehingga hukum pada cabang dapat diqiyaskan dengan hukum pokok.
Ijtihad, secara bahasa diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtihada yang berarti usaha itu lebih sungguh-sungguh. Dengan demikian ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sedangkan menurut istilah ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).
Dahulu ulama ushul fiqih tidak membolehkan berijtihad dalam masalah akidah. Mereka beranggapan bahwa orang yang keliru dan salah dalam ijtihad pada masalah akidah dipandang kafir atau fasik. Namun ada sbeberapa ulama seperti Al-Kamal Ibnu Al-Hummam dan Ibnu Taimiyyah mengakui dan menyetujui adanya ijtihad pada masalah akidah.
Ijtihad memiliki dasar hukum yang menjadi landasan dibolehkannya melakukan ijtihad, seperti:
Firman Allah SWT dalam QS.An-Nisa: 105 yang artinya, ”Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang Allah SWT mengetahui kepadamu.”
  1. Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad.
Hadits yang diriwayatkan oleh Umar, yang memiliki arti, “Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah, maka ia mendapat satu pahala.”
Hadits Mu’adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman. Haditsnya sebagai berikut, “Rasulullah SAW bertanya, “Dengan apa kamu menghukumi?” Ia menjawab, “Dengan apa yang ada dalam kitab Allah SWT.” Bertanya lahi Rasulullah SAW, “Jika kamu tidak mendapati dalam kitab Allah SWT?” Dia menjawab: “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah SAW”. Rasul bertanya kembali, “Jika kamu tidak pula mendapati padanya?” Berkata Mu’adz, “Aku berijtihad dengan pendapatku.” RasulullahSAw bersabda, “Aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya.”
Dari hadits Mu’adz di atas telah ditetapkan jika menemukan masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, mereka melakukan ijtihad.
Untuk melakukan ijtihad, kita harus mengetahui syarat-syarat apa saja yang harus dilakukan seorang mujtahid. Diantara syaratnya ialah:
  1. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik secara bahasa maupun syari’ah.
  2. Menguasai dan mengetahui hadits-hadits tentang hukum.
  3. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan Sunnah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum.
  4. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga bisa melakukan ijtihad tanpa adanya pertentangan.
  5. Mengetahui qiyas, sebab qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
  6. Menguasai bahasa Arab dan yang berkaitan dengan bahasa serta berbagai problemaatikanya.
  7. Mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.
  8. Mengetahui maqashidu asy-syari’ah (tujuan syari’ah). Tujuan syari’at syari’ah yaitu menjaga kemaslahatan dan menjauhkan dari kemadaratan.
Setelah mengetahui syarat-syarat berijtihad, maka selanjutnya kita akan membahas tingkatan ijtihad bagi para mujtahid. Menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah mengatakan ada lima tingkatan bagi mujtahid, diantaranya:
  1. Mujtahid Mustaqil adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang dibuatnya sendiri sehingga berbeda dengan mazhab yang ada. Tingkatan ini sudah tidak ada lagi menurut Suyuti.
  2. Mujtahid Mutlaq Muntasib Ghairu Mustaqil adalah orang yang memiliki kriteria seperti nomor satu, namun disini tidak menciptakan atau membuat kaidah sendiri melainkan mengikuti metode salah satu imam mazhab.
  3. Mujtahid Muqayyad atau mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh mazhab imamnya meskipun diberi kebebasan dalam menentukan masalah.
  4. Mujtahid Tarjih adalah mujtahid yang belum samapai derajatnya pada mujtahid takhrij.
  5. Mujtahid Fatwa adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah imam mazhabnya.
Adapun pengambilan hukum yang digunakan secara ijtihad adalah sebagai berikut :
  1. Istihsan, secara bahasa diartikan meminta berbuat kebaikan. Sedangkan menurut istilah ulama ushul adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan. (Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi).
  2. Istislah (Maslahah Mursalah), dari segi bahasa kata maslahah sama seperti manfaat. Manfaat ini disini maksudnya ialah kenikmatan atau sesuatu yang akan menghantarkan kepada kenikmatan. Sedangkan secara istilah, istislah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil dan juga tidak ada pembatalnya. Maka dari itu, tujuan utama dari istislah yakni memelihara dari kemadaratan dan menjada kemanfaatannya.
  3. Istishab, secara harfiyah yaitu mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut ulama ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukan adanya perubahan keadaannya.
  4. ‘Urf berdasarkan istilah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia sehingga menjadi tradisi untuk melakukannya atau meninggalkannya. Diantara ulama ada yang berkata “Adat adalah syari’at yang telah dikukuhkan sebagai hukum.” Maka dari itu ‘urf lebih dikenal sebagai adat.
Di dalam ‘urf terdapat ‘urf sahih yang disepakati oleh beberapa ulama dan bisa menjadi pembentukan hukum. Sedangkan ‘urf fasid atau rusak tidak dijadikan rujukan dalam pembentukan hukum.
5. Dzari’ah, secara bahasa adalah jalan menuju sesuatu. Sedangkan menurut ulama dzari’ah adalah sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi, pendapat ulama ini ditolak oleh ulama ushul seprti, Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah mengataka bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, melainkan ada juga yang dianjurkan. Maka dari itu dzari’ah dibagi menjadi dua, sadd dzari’ah (yang dilarang) dan fath dzari’ah (yang dianjurkan).
Maksud dari sadd dzari’ah ialah melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan kemudian menjadi suatu pekerjaan yang mengandung kemafsadatan. Sedangkan maksud dari fath dzari’ah ialah suatu perbuatan yang bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu menjadi wajib. Ulama Syafi’iyah, Hanafiah dan sebagian Malikiyyah menyebut fath dzari’ah itu sebagai muqaddimah (pendahuluan) yang bisa dijadikan  dalam menetapkan suatu hukum. (Aj-Juhaili: 874).
6. Madzhab Shahaby adalah para sahabat yang tampil dengan ilmu dan pemahaman terhadap fiqih yang mereka miliki untuk memebentuk hukum dan memberi fatwa kepada umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
7.Syar’u man Qablana (syari’at sebelum kita) adalah hukum yang sudah ada dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang telah disyari’atkan pada umat dahulu melalui para Rasul, maka kita wajib mengikutinya, sebab syari’at itu juga ditujukan kepada kita umat sekarang. Seperti dalam QS. Al-Baqarah: 183, “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu.”

QAIDAH-QAIDAH USHULIYYAH

Pengertian

Dari bahasan di atas juga telah disebutkan bahwa ushul adalah qaidah atau fondasi. Dengan demikian qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ini berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan. Untuk itu, ia memiliki fungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam sumber hukum (wahyu) yang berupa bahasa.
Karena qaidah ushuliyyah berkaitan dengan lafazh, maka ada yang disebut mubayyan dan mujmal. Mubayyan adalah lafazh yang mempunyai makna tertentu serta tidak mempunyai kecocokan makna lain. Sedangkan mujmal yaitu lafazh yang mempunyai dua makna atau lebih tanpa diketahui mana makna yang lebih kuat.

Tingkatan Pada Lafazh

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Maka timbullah golongan pertama yaitu golongan Hanafiyah yang membagi lafazh dari segi kejelasan menjadi empat bagian, yakni: zhahir (sederhana), nash (cukup jelas), mufassar (sangat jelas), dan muhkam (super jelas). Dari segi ketidakjelasan lafazh mereka membaginya menjadi empat macam pula, yakni: khafi (tidak jelas), musykil (sulit), mujmal (tidak terperinci), dan mutasyabih (simpang siur).
Golongan kedua yaitu golongan Syafi’iyah yang membagi lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua, yakni: zhahir dan nash. Sedangkan dari segi ketidakjelasan lafazhnya dibagi menjadi dua macam lagi, yakni: mujmal dan mutasyabih.

QAWAID ASSASIYYAH

Pengertian

Qawaid assasiyyah adalah qaidah-qaidah yang dipegang oleh para imam mazhab. Qaidah ini terdiri dari dua bagian, yakni qaidah assasiyyah dan qaidah ghairu assasiyyah. Dari berbagai kalangan mazhab menyebutkan bahwa qaidah fiqhiyyah ada lima dan menjadi pokok. Dan semua ulama merujuk pada kelima kaidah pokok tersebut.
  1. اَلْاُمُوْرُ بِمَقَا صِدِهَا
”Setiap perkara bergantung pada tujuannya.” Sumber pengambilan qaidah ini yakni:
  • Ali-Imran : 145.
 …وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْاَخِرَاةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا..
“… Barang siapa menghendaki pahala dunia Kami berikan pahala itu dan barang siapa menghendaki pahala akhirat Kami berikan kepadanya pahala itu. Dan Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur…”
  • Bukhari
اِنَّمَاالْاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍمَا نَوَى
“Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya bagi seseorang hanyalah apa yang ia niati.”
Contoh aplikasi yang sesuai dengan qaidah ini adalah:
  • Seseorang yang akan melaksanakan shalat zuhur, tapi niatnya solat ashar maka shalatnya tidak sah
  • Seseorang bersumpah tidak akan bicara dengan seseorang yang bernama Ahmad dalam waktu tiga hari, maka sumpahnya itu hanya berlaku pada Ahmad dan dalam waktu tiga hari saat diucapkan sumpah tersebut. Untuk selain Ahmad dia boleh berbicara seperti biasanya.
2. اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِ
“Keyakinan tidak bisa hilang dengan keraguan.” Qaidah ini dibangun atas tiga sumber yaitu Al-Qur’an, As-sunnah, dan akal. Sebagai berikut diantaranya:
  • Yunus : 36.
 وَمَايَتْبَعُ اَكْثَرُهَمْ اِلَّا ظَنًّا اِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِىْ مِنَ الْحَقِّ شَيْاً..
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebeneran…”
  • Tirmidzi.
اِذَاشَكَّ اَحَدُكُمْ فِى صَلَا تِهِ فَلَمْ يَدْرِكَمْ صَلَّى اَثَلَا ثًااَمْ اَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ اَلشَّكَّ وَلْيَبْنَ عَلَى مَا سَتَيَقَّنَ
 [رواه التر مذى]
“Apabila seseorang ragu-ragu di dalam shalatnya, tidak tahu sudah berapa rakaatkah shalatnya, tiga ataukah empat, maka buanglah keraguan tersebut dan berpeganglah kepada keyakinan.”
  • Menurut akal. “Keyakinan adalah lebih kuat daripada keraguan, sebab di dalam keyakinan terdapat keputusan (hukum) yang pasti yang tidak hilang oleh keraguan.”
Contoh aplikasi dalam kehidupan, seperti:
  • Apabila seorang sedang melaksanakan shalat zuhur, kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atukah tiga rakaat, maka ambillah yang lebih yakin atau lebih sedikit yaitu tiga rakaat, kemudian sebelum salam disunahkan sujud sahwi dua kali.
  • Seorang musafir hendak menqashar shalatnya kemudian ia bermakmum dengan seorang yang tidak diketahui apakah imam tersebut seorang musafir juga ataukah bukan, maka qasharnya tidak memenuhi syarat.
3. اَلْمَشَقَةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Suatu kesusahan mengharuskan adanya suatu kemudahan.” Sumber qaidah ini sebagai berikut:
  • Al-Baqarah : 185
يُرِيْدُاللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
  • Bukhari
يُسْرٌ اَحَبُّ الدِّيْنِ اِلَى اللّهِ اَلْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ اَلدِّيْنُ
“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi oleh Allah SWT adalah agama yang benar dan mudah.”
Contoh aplikasi qaidah ketiga dalam kehidupan sehari-hari:
  • Bolehnya buka puasa ketika bepergian jauh atau ketika sakit. Dan wajib menggantinya di luar bulan Ramadhan.
  • Dibolehkan tidak ada ijab qabul dalam beli barang yang tidak berharga.
  • Tidak ada kelonggaran untuk berbuat maksiat apapun alasannya, melainkan kita harus bisa menghindarinya.
4. اَلضَّرَرُ يُزَالُ
“Suatu kerusakan akan dihilangkan.”
Sumber qaidah ke empat ini sebagai berikut:
…..وَلَا تُمْسِكُوْ هُنَّ ضِرَارًالِتَعْتَدُوْا….
“…Janganlah kamu rujuki mereka untuk memadaratkan….” (QS. Al-Baqarah : 231)
  • Tirmidzi
مِنْ حُسْنِ اِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ
“Di antara kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.”
Contoh aplikasi qaidah ini, diantaranya:
  • Dibolehkan memakan daging babi ketika sedang kelaparan dan tidak ada sesuatu yang bisa dimakan (darurat) tetapi tidak boleh sampai kenyang, hanya sekedar saja.
  • Tidak boleh membunuh anak kandung dengan alasan apapun termasuk kesulitan ekonomi di dalamnya.
5. اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ   “Suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum (‘urf).”
Suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh jumhur ulama, yaitu:
  • Tidak bertentangan dengan syari’at
  • Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemaslahatan
  • Tidak berlaku dalam ibadah
  • Adat tersebut sudah memasyarakat
Sumber qaidah yang terakhir ini, antara lain:
  • Imam Ahmad, Al-Bajjar, dan Ibnu Mas’ud.
“Apa yang dipandang baik oleh orang Islam, maka menurut Allah SWT juga digolongkan sebagai perkara yang baik, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam, maka menurut Allah SWT juga digolongkan sebagai perkara yang buruk.”
Contoh aplikasi qaidah terakhir:
  • Menjual buah yang masih ada di pohonnya tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas jumlah buah tersebut, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan (adat) maka ulama membolehkannya.
  • Mereka yang mengajarkan Al-Qur’an dibolehkan menerima upah atau bayaran.

1 komentar:

avatar

Pragmatic Play Casino - GoMans
› casino › casino Pragmatic Play. Pragmatic play is 바카라 a leading provider of slots, live casino table games, and bingo. In 태평양 먹튀 addition 스포츠 사이트 to our extensive portfolio of 토토 사이트 리스트 casino games, we offer a 메리트 number of unique

Click to comment