A.
PRINSIP-PRINSIP
HUKUM ISLAM
Mu’arikh
hukum islam
menjelaskan berbagai prinsip hukum
islam. Prinsip-prinsip hukum
islam yang dijelaskan mu’arikh adalah sebagai berikut:
1.
Menegakkan mashlahat
Mashlahat
berasal dari kata al-shulh atau al-ishlah yamg berarti damai dan ketentraman.
Secara terminology adalah perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan.
(al-syathibi, II, 1341 H:2). Mashlahat
adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum islam. Ia memiliki
landasan yang kuat dalam al-qur’an dan hadis.[1]
Secara
umum mashlahat dapat dibagi menjadi tiga, yaitu mashlahat mu’tabarah, mashlahat
mulghah, dan mashlahat mursalah.
1. Mashlahat
mu’tabarah dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan : dlaruriyyah
(primer), hajiyyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tersier).
2. Mashlahat
mulghah adalah suatu perbuatan yang didalamnya terkandung manfaat tetapi dalam
syarak tidak ditetapkan secara pasti.
3. Mashlahat
mursalah adalah sesuatu yang bermanfaat tetapi tidak diperintahkan oleh Allah
dan Rasul-Nya dalam sunnah.
2. Menegakkan
keadilan (tahqiq al-‘adalah)
Secara
bahasa adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl al-syai’ fi
mahalih). Murtadla Muthahari, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid,
menjelaskan bahwa pengertian pokok keadilan sebagai berikut:[2]
·
Pertimbangan atau keadaan seimbang
(mauzun). Dalam makna ini, keadilan antonim dengan kekacauan atau ketidakadilan
(al-tanasub)
·
Persamaan (musawah) atau ketidakadaan
diskriminasidalam bentuk apapun. Hal ini didasarkan pada prinsip demokrasi dan
UDHR yang dibangun atas dasar persamaan.
·
Penunaian hak sesuai dengan kewajiban
yang diemban. Keadilam dalam arti ini hamper sama dengan keadilan distributive
(imbalan sesuai dengan jasa) dan keadilan komutatif (imbalan secara merata
tanpa memperhatikan perbedaan tingkat tanggung jawab).
·
Keadilan Allah, yaitu kemurahan-Nya
dalam melimpahkan rahmat kepada seseorang sesuai dengan tingkat keadilan yang
dimilikinya.
3.
Tidak menyulitkan (‘adam al-haraj)
Al-haraj
memiliki beberapa arti, diantaranya sempit, sesat, paksa, dan berat. Adapun
arti terminologinya adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa dan
harta secara berlebihan, baik sekarang maupun dikemudian hari. [3]
Diantara
cara meniadakan kesulitan adalah sebagai berikut:
·
Pengguguran kewajiban, yaitu dalam
keadaan tertentu kewajiban ditiadakan, seperti ketidakwajiban melakukan ibadah
haji bagi yang bangkrut atau keadaan tidak aman
·
Pengurangan kadar yang telah ditentukan,
umpamanya qashar sholat bagi yang sedang dalam perjalanan.
·
Penukaran, yaitu penukaran kewajiban
yang satu dengan yang lainnya. Umpamanya kewajiban wudhu dan mandi wajib (junub)diganti
dengan tayamum.
·
Mendahulukan, yaitu mengerjakan sesuatu
sebelum waktu yang telah ditentukan secara umum (asal). Seperti jama’ taqdim,
melaksanakan sholat ashar pada waktu dzuhur
·
Menangguhkan, mengerjakan sesuatu
setelah waktunya yang asal telah tiada, seperti melaksanakan sholat zuhur pada
waktu ashar.
·
Perubahan, yaitu bentuk perubahan beubah
ubah sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi, sholat khauf.
4.
Menyedikitkan beban (taqlil al-takalif)
Taklif
secara bahasa berarti beban. Arti etimologinya menyedikitkan. Adapun secara
istilah yang dimaksud taklif adalah tuntutan Allah untuk berbuat sehingga
dipandang taat dan (tuntutan) untuk menjauhi cegahan Allah.
Dengan
demikian yang dimaksud taqlil al-takalif secara terminologi adalah
menyedikitkan tuntutan Allah untuk berbuat mengerjakan perintah-Nya dan
menjauhi cegahan-Nya.
Dasar
taqlil al-takalif adalah surat al-maidah : 101 yang menegaskan bahwa
orang-orang yang beriman dilarang bertanya kepada Rasul Allah tentang hal yang
bila diwajibkan akan menyulitkan mereka. Mungkin yang dimaksud cegahan bertanya
pada ayat tersebut adalah seperti pertanyaan umat Nabi Musa tentang
penyembelihan sapi (Q.S. Al-Baqarah:68-74).[4]
5.
Berangsur-angsur (tadrij)
Hukum
islam dibentuk secara gradual atau radrij dan didasarkan pada Al-Qur’an yang
diturunkan secara berangsung-angsur. Diantara bidang islam yang dibentuk secar
berangsur-angsur adalah sebagai berikut:
·
Sholat. Pada awalnya, sholat
diperintahkan pada dua waktu, yaitu pagi hari dan sore hari (QS. Hud : 114),
kemudian perintah sholat wajib dalam tiga waktu QS. Al-Isra : 78) dan akhirnya
berdasarkan hadis fi’liyyah mutawatir
sholat wajib dilakukan lima kali sehari semalam.
·
Pengaharm riba. Pada awalnya, riba hanya
dikatan sebagai perbuatan tercela (QS. Ar-Rum : 39), kemudian dinyatan bahwa
riba adalah yang berlipat ganda (QS. Ali-Imran : 130) dan terakhir riba
diharamkan secara keseluruhan (QS. Al-Baqarah : 275 dan 278)
·
Pengharaman khamr. Pada awalnya meminum
khamr dipandang tercela untuk dilakukan karena lebih banyak mudarat dari pada
manfaatnya (QS. Al-Baqarah : 219) selanjutnya disebutkan bahwa orang yang
hendak sholat dilarang meminum khamr (QS. An-Nisa : 43) secara implisit,
cegahan ini dipahami bahwa meminum khamr “diperbolehkan” ia terlarang bagi yang
hendak melakukan sholat. Dan terakhir, Allah mengharamkan khamr secara mutlak
(QS. Al-Ma’idah : 90).
B.
KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM
Hukum
Islam mempunyai watak tertentu dan beberapa karakteristik yang membedakannya
dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut ada yang memang
berasal dari watak hukum itu sendiri dan ada pula yang berasal dari proses
penerapan dalam lintasan sejarah menuju ridho Allah. Beberapa karakteristik
hukum Islam:[5]
a. Sempurna,
artinya syari’at itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi
manusia. Hal ini didasarkan bahwa syari’at Islam diturunkan dalam bentuk yang
umum dan hanya garis besar permasalahannya saja, sehingga hukum-hukumnya
bersifat tetap. Penetapan hukum yang bersifat global oleh Al-quran dimaksudkan
untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia melakukan ijtihad sesuai dengan
situasi dan kondisi ruang dan waktu.
b. Universal,
syari’at Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku, ras,
bangsa, dan bahasa. Keuniversalan ini tergambar dari sifat hukum Islam yang
tidak hanya berpaku pada satu masa saja. Hukum Islam menghimpun segala sudut
dan segi yang berbeda-beda didalam suatu kesatuan dan akan senantiasa cocok
dengan masyarakat yang menghendaki tradisi lama atau modern.
c. Elastis,
dinamis, fleksibel, dan tidak kaku. Karena hukum Islam merupakan syari’at yang
universal dan sempurna. Bila syari’at diyakini sebagai sesuatu yang baku dan
tidak pernah berubah, maka fiqh menjembatani antara sesuatu yang baku
(syari’at) dan sesuatu yang relatif dan terus berubah (ruang dan waktu). Hukum
Islam juga mempunyai daya gerak dan hidup yang dapat membentuk diri sesuai
dengan perkembangan dan kemajuan, melalui proses ijtihad. Dalam ijtihad yang
menjadi hak bagi setiap muslim untuk melakukannya merupakan prinsip gerak dalam
Islam yang akan mengarahkan kepada perkembangan yang bersifat aktif, produktif
serta konstruktif.
d. Sistematis,
artinya antara doktrin satu dengan doktrin lain bertautan dan berhubungan
secara logis. Selain itu, syari’at Islam yang mendorong umatnya untuk beribadah
disatu sisi, tetapi juga tidak melarang umatnya untuk mengurusi duniawi.
e. Bersifat
Ta’abuddi dan ta’aqulli
yang artinya bentuk ibadah yang fungsi umatnya mendekatkan diri kepada Allah.
Sedangkan Ta’aqulli yaitu bersifat duniawi yang maknanya dapat difahami oleh
nalar manusia dan rasional. [6]
[1]
(al-syathibi,
II, 1341 H:2). Mashlahat adalah dasar semua kaidah
yang dikembangkan dalam hukum islam. Ia memiliki landasan yang kuat dalam
al-qur’an dan hadis.
[2]
Jaih Mubarok.
Cet. 2003 , sejarah dan perkembangan
hukum islam , (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya)
[3] Al-haraj memiliki beberapa arti, diantaranya sempit,
sesat, paksa, dan berat. Adapun arti terminologinya adalah segala sesuatu yang
menyulitkan badan, jiwa dan harta secara berlebihan, baik sekarang maupun
dikemudian hari.
[4] Dasar taqlil
al-takalif adalah surat al-maidah : 101 yang menegaskan bahwa orang-orang yang
beriman dilarang bertanya kepada Rasul Allah tentang hal yang bila diwajibkan
akan menyulitkan mereka. Mungkin yang dimaksud cegahan bertanya pada ayat
tersebut adalah seperti pertanyaan umat Nabi Musa tentang penyembelihan sapi
(Q.S. Al-Baqarah:68-74)
[5]
Yayan sofyan . 2010 , Tarikh Tasyri : Sejarah Pembentukan Hukum
Islam , Depok : Gramata Publishing .Hlm.11
[6] Yayan sofyan . 2010 , Tarikh Tasyri : Sejarah Pembentukan Hukum Islam , Depok :
Gramata Publishing .Hlm.12